Oleh : Mustafa MY Tiba, S.Pd.I, S.H, CPM, CPArb
Pendahuluan
Dalam praktik penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sering dijadikan dasar utama penuntutan. Namun, pertanyaan fundamental muncul: apakah pembuktian unsur niat jahat atau mens rea merupakan suatu keharusan dalam delik ini?
Sering kali, aparat penegak hukum hanya berfokus pada unsur actus reus seperti “perbuatan melawan hukum” dan “kerugian keuangan negara”, sementara aspek batiniah pelaku (sikap mental atau niat jahat) diabaikan. Padahal, dalam konteks hukum pidana modern, mens rea adalah elemen esensial yang membedakan antara perbuatan jahat dan kesalahan administratif.
Rumus Pasal dan Unsur-Unsur Delik
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun…”
Unsur-unsur penting dalam pasal ini:
- Setiap orang
- Secara melawan hukum
- Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi
- Merugikan keuangan/perekonomian negara
Namun, unsur “kesengajaan” atau niat jahat (dolus) tidak secara eksplisit ditulis, meskipun secara doktrinal harus tetap dianggap melekat dalam setiap delik.
Mens Rea: Pilar dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana, adagium klasik yang masih sangat relevan adalah:
“Actus non facit reum nisi mens sit rea”
(Seseorang tidak dapat dipidana semata-mata karena perbuatannya, kecuali ada niat jahat).
Ini merupakan prinsip dasar bahwa perbuatan pidana harus disertai dengan kesengajaan, kecuali ditentukan sebagai delik culpa (kealpaan). Dalam konteks Pasal 2 UU Tipikor, delik ini adalah delik dolus, yang menuntut adanya mens rea.
Penjelasan Yuridis: Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 25/PUU-XIV/2016 memberikan klarifikasi penting bahwa:
“Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak dapat diartikan sebagai delik formil semata tanpa mempertimbangkan unsur kesalahan atau pertanggungjawaban pidana pelaku… unsur kesengajaan (dolus) adalah bagian penting dari hukum pidana modern.”
Dalam pertimbangan tersebut, MK menegaskan bahwa penghapusan mens rea dari unsur pembuktian akan:
- Melanggar prinsip due process of law
- Berpotensi menjadikan maladministrasi atau kesalahan administratif sebagai tindak pidana
- Menciptakan ketidakpastian hukum dan rasa takut berlebihan dalam birokrasi (chilling effect)
Bahaya Mengabaikan Mens Rea: Antara Maladministrasi dan Kriminalisasi
Mengkriminalkan tindakan administrasi yang tidak disertai niat jahat akan menciptakan iklim birokrasi yang tidak sehat. Banyak pejabat menjadi enggan mengambil keputusan karena khawatir dikriminalkan. Ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan efektivitas pelayanan publik.
Contoh konkret bisa dilihat dalam berbagai kasus di mana:
- Kredit perbankan macet karena risiko bisnis, bukan karena niat jahat
- Keputusan anggaran daerah ditafsirkan sebagai penyimpangan, padahal melalui proses musyawarah resmi
- Pembelian barang melalui tender resmi dipermasalahkan hanya karena selisih harga
Antara Penegakan Hukum dan Keadilan Substantif
Pemberantasan korupsi adalah agenda nasional yang tak boleh ditawar. Namun, penegakan hukum yang adil menuntut keseimbangan antara pembuktian perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea).
Keadilan substantif menuntut bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika terdapat:
- Perbuatan yang melawan hukum (actus reus)
- Niat jahat atau kesengajaan (mens rea)
- Pertanggungjawaban pidana yang sah (kesalahan secara hukum)
Kesimpulan: Mens Rea adalah Keniscayaan
Mengabaikan mens rea dalam pembuktian korupsi bukan hanya bertentangan dengan prinsip hukum pidana, tetapi juga membahayakan integritas sistem peradilan. Oleh karena itu, pembuktian niat jahat (dolus) dalam Pasal 2 UU Tipikor harus dianggap sebagai elemen wajib, meskipun tidak eksplisit tertulis.
Penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan yang tidak hanya keras terhadap koruptor, tetapi juga tidak gegabah dalam menilai kesalahan administratif sebagai kejahatan pidana.
Daftar Regulasi dan Referensi
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Buku I tentang Ketentuan Umum
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016
- Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Jakarta: Rineka Cipta
- Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana”, Bandung: Alumni
Optimasi SEO
- Slug URL:
/niat-jahat-mens-rea-pasal-2-uu-tipikor - Meta Title: Wajibkah Membuktikan Niat Jahat (Mens Rea) dalam Delik Korupsi?
- Meta Description: Telusuri pentingnya pembuktian mens rea dalam Pasal 2 UU Tipikor. Tanpa niat jahat, bisa jadi yang terjadi hanyalah kesalahan administrasi, bukan korupsi.



