Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan hanya persoalan pidana, tetapi juga masalah kemanusiaan dan perlindungan korban. Di lapangan, tidak jarang korban justru berbalik dilaporkan oleh pelaku dengan tuduhan KDRT, fenomena yang dikenal sebagai kriminalisasi korban.
Fenomena ini memerlukan analisis hukum yang cermat, terutama ketika bukti yang dimiliki korban adalah rekaman CCTV tanpa visum medis, sementara pelaku memiliki visum. Artikel ini membahas bagaimana hukum memandang bukti elektronik, strategi pembelaan, dan peran lembaga seperti Komnas Perempuan.
Bukti CCTV dalam Kasus KDRT
Dalam sistem hukum Indonesia, alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan terdakwa
Rekaman CCTV termasuk alat bukti elektronik yang diakui sah menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE jo. UU No. 19 Tahun 2016. Bahkan, Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 menegaskan bahwa kekerasan dapat dibuktikan dengan CCTV meskipun tanpa visum, selama bukti tersebut memenuhi syarat autentik dan relevan.
Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Bila korban melakukan tindakan fisik untuk menangkis serangan pelaku, hal ini dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa sesuai Pasal 49 ayat (1) KUHP:
“Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain terhadap serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum.”
Artinya, jika pukulan atau dorongan dilakukan sebagai reaksi spontan untuk melindungi diri dari kekerasan, unsur kesengajaan dalam tindak pidana KDRT menjadi tidak terpenuhi.
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Korban
Bagi korban KDRT yang dikriminalisasi balik, ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
- Amankan Bukti Elektronik
Simpan rekaman CCTV dalam format asli, buat salinan cadangan, dan sertakan screenshot momen krusial. - Laporkan Balik Pelaku
Ajukan laporan dengan dasar Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT (kekerasan fisik) dan Pasal 45 UU PKDRT (kekerasan psikis). - Libatkan Saksi dan Dokumen Pendukung
Sertakan saksi mata, bukti komunikasi ancaman, dan bukti pengabaian nafkah. - Ajukan Perlindungan ke Komnas Perempuan
Berdasarkan Perpres No. 65 Tahun 2005, Komnas Perempuan dapat mengeluarkan rekomendasi kepada kepolisian agar memperhatikan posisi korban.
Peran Komnas Perempuan
Komnas Perempuan memiliki mandat memberikan perlindungan, advokasi, dan pemulihan bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk KDRT. Lembaga ini dapat:
- Mengawasi proses hukum agar tidak merugikan korban
- Memberikan pendampingan psikologis
- Mengadvokasi kasus ke publik dan media untuk mencegah bias aparat
Kesimpulan
Kasus KDRT tidak boleh dipandang sebagai konflik biasa antara pasangan suami istri. Ketika korban justru menjadi terlapor, peran pengacara sangat penting untuk memastikan hak-hak korban terlindungi, bukti dikelola dengan benar, dan proses hukum berjalan objektif.
Bukti CCTV, meskipun tanpa visum, dapat menjadi alat bukti kuat untuk melaporkan balik pelaku, apalagi jika disertai saksi dan bukti pendukung lainnya. Pelaporan ke Komnas Perempuan juga dapat menjadi strategi penting dalam melindungi korban dari kriminalisasi.



