fenomena keadilan dan viral

Fenomena “No Viral, No Justice”: Mengapa Keadilan Harus Menunggu Viral?

Pengantar Fenomena “No Viral, No Justice” di Indonesia

Beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin sering menyaksikan kasus hukum yang baru mendapatkan perhatian aparat penegak hukum setelah viral di media sosial. Fenomena ini dikenal dengan istilah “No Viral, No Justice”, yang berarti tanpa viral, keadilan sulit diperoleh.

Contohnya, kasus penganiayaan, kekerasan seksual, hingga ketidakadilan administratif yang baru mendapat tindak lanjut setelah ramai diperbincangkan warganet. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum dan ketimpangan dalam akses keadilan.

Arti dan Asal Mula Istilah “No Viral, No Justice”

Istilah ini berasal dari keresahan publik bahwa keadilan tidak berjalan kecuali mendapat tekanan sosial. Media sosial, seperti TikTok, X, dan Instagram, menjadi wadah masyarakat untuk menuntut keadilan dengan cara yang berbeda: melalui viralitas.

Sayangnya, pola ini memperlihatkan ketergantungan terhadap opini publik alih-alih mekanisme hukum formal yang seharusnya netral dan objektif.

Mengapa Kasus Harus Viral Dulu Baru Diproses?

Beberapa alasan yang mendasarinya antara lain:

    • Minimnya pengawasan publik terhadap aparat hukum.

    • Kurangnya akses masyarakat terhadap keadilan, terutama bagi kelompok lemah.

    • Efek amplifikasi media sosial, di mana kasus viral menimbulkan tekanan politik dan sosial terhadap lembaga hukum.

Fenomena ini menandakan bahwa keadilan di Indonesia masih selektif dan kadang bergantung pada seberapa besar perhatian masyarakat.

Dampak Media Sosial terhadap Proses Hukum

Peran Media Sosial dalam Mengungkap Ketidakadilan

Media sosial kini menjadi “mata ketiga” dalam mengawasi penegakan hukum. Banyak kasus seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak yang akhirnya terungkap setelah viral di platform digital.
Hal ini sesuai dengan semangat Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Risiko Trial by Public dan Gangguan terhadap Asas Praduga Tak Bersalah

Namun, viralitas juga memiliki sisi gelap. Fenomena “trial by social media” sering kali membuat seseorang dihukum opini publik sebelum ada putusan hukum yang sah.
Padahal, Pasal 8 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, atau ditahan harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Analisis Hukum: Keadilan dalam Perspektif Regulasi Indonesia

Pasal 27 ayat (3) UU ITE

Pasal ini mengatur larangan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang melalui media elektronik. Banyak kasus “No Viral, No Justice” yang berakhir justru mengkriminalisasi korban karena laporan balik menggunakan pasal ini.
Inilah sebabnya, revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi penting untuk mencegah penyalahgunaan.

Prinsip Persamaan di Hadapan Hukum (UUD 1945 Pasal 27 ayat (1))

Pasal ini menegaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.”
Artinya, seharusnya tak perlu viral untuk mendapatkan keadilan. Namun dalam praktiknya, publik sering merasa bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Peran KUHAP dalam Menjamin Proses Hukum yang Adil

baca juga : Gugatan Perdata, Peran Notaris, dan Mekanisme Pengawasan OJK dalam Perlindungan Hukum Masyarakat

KUHAP memberikan kerangka bagi perlindungan hak tersangka, korban, dan saksi. Dalam konteks “No Viral, No Justice,” KUHAP semestinya berfungsi memastikan akses hukum yang setara tanpa tekanan publik atau politik.

Studi Kasus: Ketika Kasus Viral Mengubah Arah Penegakan Hukum

Kasus “Ibu Sambo” dan Dampak Sosial Media

Kasus pembunuhan Brigadir J menjadi salah satu contoh paling fenomenal. Awalnya publik tidak tahu apa yang terjadi, hingga akhirnya viral dan membuka tabir besar dalam institusi penegak hukum. Baca : Kapolri nonaktifkan ferdi sambo 

Kasus Penganiayaan yang Terungkap Setelah Viral

Kasus “anak pejabat DJP” yang viral di media sosial juga memperlihatkan bagaimana tekanan netizen mendorong tindakan cepat aparat hukum, yang sebelumnya lambat. Baca : buntut-kasus-penganiayaan-anak-pejabat-djp-sri-mulyani-perkuat-integritas-kemenkeu 

Perspektif Sosiologis dan Psikologis

Tekanan Publik terhadap Aparat Penegak Hukum

Viralitas menciptakan tekanan sosial luar biasa yang kadang memengaruhi objektivitas penegakan hukum. Aparat merasa perlu “menenangkan” opini publik, bukan menegakkan keadilan substantif.

Dampak Psikologis bagi Korban dan Pelaku

Bagi korban, viralnya kasus bisa menjadi pedang bermata dua — membuka akses keadilan, tapi juga trauma baru karena privasi terganggu.

Solusi: Membangun Sistem Hukum yang Responsif tanpa Tekanan Publik

Transparansi dan Reformasi Proses Hukum

Solusi jangka panjang adalah digitalisasi proses hukum, audit publik terhadap aparat, dan penerapan open justice system.
Pemerintah juga perlu memperkuat Komisi Yudisial dan Kompolnas untuk pengawasan lebih transparan.

Literasi Hukum dan Etika Bermedia Sosial

Masyarakat perlu dibekali literasi hukum digital, agar mampu menyalurkan aspirasi dengan benar tanpa melanggar UU ITE.


FAQ: Pertanyaan Umum tentang Fenomena “No Viral, No Justice”

1. Apa yang dimaksud dengan “No Viral, No Justice”?
Fenomena ketika suatu kasus hukum baru mendapat perhatian setelah viral di media sosial.

2. Apakah membuat kasus viral melanggar hukum?
Tidak, selama tidak melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE (pencemaran nama baik) atau menyebarkan hoaks.

3. Mengapa kasus bisa cepat diproses setelah viral?
Karena tekanan publik memaksa aparat bertindak lebih responsif terhadap opini masyarakat.

4. Apakah semua kasus harus viral untuk diproses?
Tidak seharusnya. Hukum harus berjalan berdasarkan keadilan, bukan popularitas.

5. Bagaimana solusi jangka panjang?
Meningkatkan transparansi, reformasi penegakan hukum, dan literasi digital masyarakat.

6. Apakah media sosial berperan positif dalam hukum?
Ya, selama digunakan untuk edukasi dan pengawasan sosial yang bertanggung jawab.

Kesimpulan: Mewujudkan Keadilan Tanpa Harus Viral

Fenomena “No Viral, No Justice” adalah cermin bahwa keadilan belum sepenuhnya merata. Solusinya bukan menolak viralitas, melainkan memperkuat sistem hukum agar adil tanpa tekanan publik.

Keadilan sejati tidak membutuhkan sorotan kamera — cukup integritas, transparansi, dan keberanian menegakkan hukum untuk semua.


🔗 Referensi Eksternal:

Scroll to Top