chatgpt image 1 agu 2025, 18.33.18

Grasi dan Abolisi untuk Tom Lembong dan Hasto: Tinjauan Hukum dan Implikasinya

Oleh : Mustafa MY Tiba, S.Pd.I, S.H, VPM, CPArb

Pendahuluan

Belakangan ini, publik dikejutkan oleh pemberian grasi dan abolisi kepada dua tokoh politik nasional: Thomas Lembong (Tom Lembong) dan Hasto Kristiyanto. Keputusan ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat karena menyangkut dua instrumen hukum yang sangat strategis dan sarat kepentingan politik. Lantas, apa sebenarnya grasi dan abolisi? Siapa yang berwenang memberikannya? Dan apa implikasi hukumnya?

Artikel ini akan mengulas secara tuntas dari sisi hukum tata negara, hukum pidana, dan konstitusi, serta menjawab berbagai pertanyaan publik dengan pendekatan yuridis.

Pengertian Grasi dan Abolisi Menurut Hukum Indonesia

Grasi adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada terpidana yang telah dijatuhi hukuman tetap oleh pengadilan. Grasi dapat berupa pengurangan hukuman, perubahan jenis pidana, atau penghapusan pidana.

Abolisi adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan, sehingga proses hukumnya dihentikan.

    • Dasar hukum abolisi:
        • Pasal 14 ayat (2) UUD 1945: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.”

        • Pasal 1 angka 2 KUHP dan UU No. 11 Tahun 1954 tentang Penghapusan Penuntutan.

Perbedaan Grasi dan Abolisi

Aspek Grasi Abolisi
Status Hukum Sudah dipidana (vonis inkracht) Belum diputus (masih dalam proses hukum)
Sifat Pengampunan pidana Penghentian proses pidana
Dasar Hukum Pasal 14 (1) UUD 1945 Pasal 14 (2) UUD 1945
Pertimbangan Mahkamah Agung DPR RI

Apakah Presiden Boleh Memberi Grasi atau Abolisi untuk Kasus Politik?

Ya, secara konstitusional, Presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan grasi dan abolisi, termasuk kepada tokoh politik. Namun, tindakan ini harus tetap:

    • Berdasarkan pertimbangan lembaga terkait (MA untuk grasi, DPR untuk abolisi),

    • Didasarkan pada prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan negara.

Dalam kasus Tom Lembong dan Hasto, publik mempertanyakan apakah grasi dan abolisi ini diberikan demi keadilan ataukah demi kepentingan kekuasaan politik. Maka, penting untuk menilai:

    • Apakah proses hukum yang dilalui transparan dan objektif?

    • Apakah pemberian grasi/abolisi ini selektif dan diskriminatif?

    • Apa urgensinya dalam konteks kepentingan nasional?

Implikasi Hukum dan Politik

    1. Secara hukum, penerima grasi tetap dianggap bersalah, tetapi hukumannya diringankan atau dihapus.

    1. Penerima abolisi dianggap tidak perlu dilanjutkan proses hukumnya, meskipun belum terbukti bersalah.

    1. Secara politik, keputusan ini bisa memperkuat dugaan bahwa hukum digunakan sebagai alat kekuasaan. Di sisi lain, dapat dimaknai sebagai langkah rekonsiliasi nasional jika transparan dan beralasan kuat.

    1. Secara etika dan keadilan, pemberian grasi dan abolisi harus diiringi dengan narasi yang jelas kepada publik. Jika tidak, dapat menciptakan krisis kepercayaan terhadap hukum dan pemerintahan.

Dampak Pemberian Grasi dan Abolisi terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Keputusan pemberian grasi dan abolisi terhadap Tom Lembong dan Hasto memiliki dampak serius terhadap sistem hukum, karena menimbulkan sinyal kuat bahwa:

Proses peradilan di Indonesia tidak sepenuhnya bebas dari intervensi kekuasaan.

Hal ini mengandung beberapa implikasi kritis berikut:

1. Indikasi Intervensi Kekuasaan terhadap Proses Peradilan

Pemberian grasi atau abolisi biasanya mengisyaratkan bahwa terdapat sesuatu yang salah dalam proses atau putusan hukum sebelumnya. Dalam kasus Tom Lembong dan Hasto, hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah vonis atau proses hukum yang mereka alami cacat hukum, ataukah kekuasaan sedang menjustifikasi koreksi politik terhadap proses hukum?

Jika benar terdapat kesalahan dalam proses peradilan, maka perbaikannya semestinya dilakukan melalui mekanisme hukum yang ada—seperti peninjauan kembali (PK), bukan lewat jalan pintas politik.

🧠 Pemberian abolisi atau grasi justru menjadi sinyal bahwa kekuasaan bisa membatalkan hukum, bukan memperbaikinya.

2. Preseden Kekuasaan Lebih Tinggi dari Hukum

Keputusan ini membuka ruang preseden berbahaya: bahwa siapa pun yang memiliki kedekatan atau nilai strategis bagi kekuasaan dapat dibebaskan dari proses hukum. Hal ini sangat berbahaya karena menggerus prinsip dasar negara hukum:

“Supremasi hukum” berubah menjadi “supremasi kekuasaan atas hukum”.

3. Kacaukan Sistem Penegakan Hukum

Efek lanjutan dari keputusan semacam ini adalah kekacauan dalam sistem penegakan hukum:

    • Penyidik dan penuntut akan kehilangan motivasi karena hasil kerjanya bisa dibatalkan oleh kekuasaan politik.

    • Hakim menjadi tidak independen karena putusannya bisa diabaikan oleh keputusan administratif presiden.

    • Masyarakat kehilangan kepercayaan karena keadilan seolah hanya untuk “mereka yang tidak punya akses kekuasaan.”

Kritik Konstitusional dan Solusi Reformasi

Pemberian grasi dan abolisi adalah hak prerogatif Presiden. Namun, hak prerogatif bukan berarti kekuasaan absolut. Untuk itu, perlu reformulasi mekanisme grasi dan abolisi, agar tidak disalahgunakan sebagai instrumen impunitas. Beberapa solusi antara lain:

    • Perluasan partisipasi publik dalam pemberian pertimbangan (beyond MA dan DPR).

    • Judicial review terbuka terhadap grasi/abolisi dalam konteks pelanggaran prinsip keadilan.

    • Kode etik konstitusional yang melarang pemberian grasi atau abolisi untuk kepentingan politik sesaat.

Penutup

Pemberian grasi dan abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukan sekadar tindakan administratif presiden, tetapi adalah peristiwa politik-hukum yang menentukan arah masa depan penegakan hukum di Indonesia.

Jika hukum dapat dibatalkan oleh kekuasaan, maka hukum kehilangan maknanya. Dan jika keadilan hanya berlaku untuk mereka yang dekat dengan penguasa, maka yang kita miliki bukanlah negara hukum, melainkan negara kuasa.

Masyarakat harus terus kritis, dan komunitas hukum harus bersuara agar hukum tidak menjadi alat legitimasi kekuasaan, melainkan penjaga terakhir dari keadilan dan demokrasi.

semoga bermanfaat, silakan share artikel ini

Bagikan ke sosial media

Terima kasih sudah dibagikan artikel ini.

Scroll to Top