1

ASAS DAN JENIS MENS REA (NIAT JAHAT) DALAM KUHP INDONESIA

Oleh : Mustafa MY Tiba, S.Pd.I, S.H, CPM, CPArb

Abstrak

Mens rea atau niat jahat merupakan unsur batiniah yang tidak dapat dipisahkan dalam menentukan suatu tindakan sebagai tindak pidana. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis asas-asas dan jenis-jenis mens rea dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Sedangkan Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mens rea dalam KUHP didasarkan pada tiga asas utama, yaitu asas kepatutan dan keadilan, asas tanggung jawab pribadi, dan asas legalitas. Jenis-jenis mens rea terdiri dari dolo (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Pemahaman yang komprehensif tentang mens rea sangat penting untuk menjamin keadilan dalam penerapan hukum pidana.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam sistem hukum pidana, tidak semua perbuatan yang merugikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Suatu perbuatan hanya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam undang-undang. Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur lahiriah (actus reus) dan unsur batiniah (mens rea). Actus reus merujuk pada perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum, sedangkan mens rea mengacu pada niat atau kesadaran pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut.

Mens rea berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran jahat” atau “niat jahat”. Konsep ini merupakan prinsip fundamental dalam hukum pidana yang menekankan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ia memiliki kesadaran atau maksud untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Prinsip ini sejalan dengan falsafah hukum bahwa tidak ada pidana tanpa kesalahan (nulla poena sine culpa).

Di Indonesia, konsep mens rea diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku sejak tahun 1918 dan masih digunakan hingga saat ini, meskipun telah mengalami berbagai reformasi dan rekomendasi perubahan. KUHP merupakan warisan dari sistem hukum kolonial Belanda yang mengadopsi sistem hukum Eropa Kontinental (continental system) yang berbasis pada prinsip-prinsip Romawi-Germanik.

Perkembangan hukum pidana modern menuntut adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep mens rea, terutama dalam konteks penegakan hukum yang adil dan proporsional. Pemahaman yang tidak tepat tentang mens rea dapat mengakibatkan ketidakadilan dalam penerapan hukum, baik dalam bentuk overkriminalisasi maupun underkriminalisasi.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Apa saja asas-asas mens rea dalam KUHP Indonesia?
  2. Bagaimana jenis-jenis mens rea yang diatur dalam KUHP?
  3. Bagaimana penerapan mens rea dalam pasal-pasal KUHP?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk menganalisis asas-asas mens rea dalam KUHP Indonesia.
  2. Untuk mengkaji jenis-jenis mens rea yang diatur dalam KUHP.
  3. Untuk mengevaluasi penerapan mens rea dalam pasal-pasal KUHP.

KAJIAN PUSTAKA

Konsep Dasar Mens Rea

Konsep mens rea memiliki sejarah panjang dalam perkembangan hukum pidana modern. Dalam sistem hukum umum (common law), konsep ini berkembang melalui putusan pengadilan dan doktrin hukum, sedangkan dalam sistem hukum kontinental (civil law), konsep ini lebih banyak diatur dalam undang-undang tertulis.

Menurut Moeljatno (2007), mens rea merupakan unsur batiniah yang harus ada dalam setiap tindak pidana, kecuali undang-undang secara tegas menyatakan sebaliknya. Unsur ini mencakup kesadaran pelaku akan perbuatan yang dilakukannya dan akibat yang ditimbulkannya. Tanpa mens rea, suatu perbuatan tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang dikecualikan oleh undang-undang.

Arief Saleh (2013) menekankan bahwa mens rea memiliki fungsi ganda dalam hukum pidana, yaitu sebagai unsur pembentuk tindak pidana dan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan jenis dan berat sanksi. Fungsi pertama berkaitan dengan kualifikasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana, sedangkan fungsi kedua berkaitan dengan asas proporsionalitas dalam pemberian sanksi.

Peter Mahmud Marzuki (2016) menjelaskan bahwa dalam sistem hukum kontinental seperti Indonesia, mens rea diatur secara sistematis dalam undang-undang dasar, yaitu KUHP. Hal ini berbeda dengan sistem hukum umum yang lebih fleksibel dalam menentukan tingkat mens rea berdasarkan konteks dan situasi tertentu.

Perbandingan Konsep Mens Rea dalam Sistem Hukum yang Berbeda

Dalam sistem hukum umum, konsep mens rea dikembangkan melalui empat tingkatan, yaitu intent (niat), knowledge (pengetahuan), recklessness (kecerobohan), dan negligence (kelalaian). Setiap tingkatan memiliki tingkat kesadaran dan pertanggungjawaban yang berbeda-beda.

Sementara itu, dalam sistem hukum kontinental seperti yang berlaku di Indonesia, mens rea dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu dolo (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Perbedaan ini mencerminkan perbedaan filosofi hukum antara kedua sistem tersebut, di mana sistem hukum kontinental lebih menekankan pada kepastian hukum yang tertulis.


PEMBAHASAN

Asas-Asas Mens Rea dalam KUHP Indonesia

Dalam KUHP Indonesia, mens rea didasarkan pada beberapa asas fundamental yang menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam penerapan hukum pidana. Asas-asas tersebut antara lain:

1. Asas Kepatutan dan Keadilan

Asas kepatutan dan keadilan merupakan asas dasar dalam hukum pidana yang menekankan bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika ia memiliki kesalahan atau kesadaran akan tindakannya. Asas ini mencerminkan prinsip bahwa hukum pidana harus diterapkan secara adil dan tidak sewenang-wenang.

Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan bahwa “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana dengan sengaja, dapat dipidana.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa unsur kesengajaan merupakan syarat utama untuk dapat dipidana, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang dikecualikan.

Asas ini juga berkaitan dengan prinsip nulla poena sine culpa (tidak ada hukuman tanpa kesalahan) yang merupakan prinsip universal dalam hukum pidana modern. Prinsip ini menjamin bahwa tidak ada seseorang yang dapat dipidana tanpa terlebih dahulu terbukti memiliki kesalahan atau kesadaran akan tindakannya.

2. Asas Tanggung Jawab Pribadi

Asas tanggung jawab pribadi menekankan bahwa tanggung jawab pidana bersifat personal dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Setiap individu hanya dapat dipidana atas tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan atas tindakan orang lain.

Pasal 2 KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “melawan hukum” adalah apabila perbuatan itu tidak dibenarkan oleh suatu peraturan undang-undang. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab pidana harus didasarkan pada perbuatan yang secara pribadi dilakukan oleh pelaku.

Asas ini juga mencerminkan prinsip bahwa hukum pidana harus menghormati martabat manusia sebagai subjek hukum yang memiliki kebebasan berperilaku. Oleh karena itu, seseorang hanya dapat dipidana jika ia secara sadar dan bebas memilih untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.

3. Asas Legalitas

Asas legalitas atau nullum crimen, nulla poena sine lege merupakan prinsip bahwa tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman tanpa dasar hukum yang jelas. Asas ini menjamin bahwa seseorang tidak dapat dipidana atas dasar hukum yang tidak jelas atau retroaktif.

Dalam konteks mens rea, asas legalitas menuntut bahwa unsur kesadaran atau niat pelaku harus secara tegas diatur dalam undang-undang. Hal ini untuk menjamin bahwa setiap orang memiliki kepastian hukum tentang apa yang dilarang dan apa yang dapat menimbulkan tanggung jawab pidana.

Jenis-Jenis Mens Rea dalam KUHP

Dalam KUHP, mens rea dibedakan menjadi dua jenis utama, yaitu dolo (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Pembagian ini merupakan ciri khas sistem hukum kontinental yang berbeda dengan sistem hukum umum yang memiliki tingkatan yang lebih kompleks.

1. Dolo (Kesengajaan)

Dolo atau kesengajaan merupakan bentuk mens rea tertinggi dalam KUHP. Pelaku dengan sengaja melakukan tindakan yang melanggar hukum dengan kesadaran penuh akan akibat yang ditimbulkan. Unsur dolo mengandung dua elemen penting, yaitu kesadaran akan perbuatan (bewustzijn van de handeling) dan kesadaran akan akibat (bewustzijn van het gevolg).

Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan bahwa hanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang dapat dipidana. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dolo merupakan syarat utama untuk dapat dipidana dalam sistem hukum Indonesia.

Unsur dolo dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:

  • Dolo directum: Pelaku memiliki maksud langsung untuk mencapai hasil tertentu.
  • Dolo eventualis: Pelaku menyadari kemungkinan terjadinya hasil tertentu tetapi menerimanya.
  • Dolo indirectum: Pelaku tidak bermaksud mencapai hasil tertentu tetapi mengetahui kemungkinan terjadinya hasil tersebut.

2. Culpa (Kelalaian)

Culpa atau kelalaian merupakan bentuk mens rea yang terjadi karena ketidakhadiran kesadaran untuk menghindari akibat yang merugikan. Pelaku tidak bermaksud melakukan tindak pidana, tetapi karena kelalaiannya, tindakan tersebut berakibat pidana.

Pasal 3 KUHP secara tegas menyatakan bahwa “Tidak punya unsur sengaja, hanya dapat dihukum apabila diancam dengan tegas oleh undang-undang.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa culpa hanya dapat menjadi dasar pidana jika secara tegas diatur dalam undang-undang.

Culpa dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu:

  • Culpa lata: Kelalaian yang jelas dan nyata yang seharusnya dapat dihindari oleh setiap orang yang berakal sehat.
  • Culpa levis: Kelalaian yang kurang hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan.
  • Culpa contractual: Kelalaian yang terjadi dalam pelaksanaan suatu perjanjian atau kontrak.

Penerapan Mens Rea dalam Pasal-Pasal KUHP

Dalam KUHP, penerapan mens rea dapat dilihat dalam berbagai pasal yang mengatur tentang tindak pidana. Beberapa contoh penerapan mens rea dalam pasal-pasal KUHP antara lain:

1. Pasal 340 KUHP (Pembunuhan)

Pasal 340 KUHP mengatur tentang pembunuhan yang mewajibkan adanya kesengajaan untuk menetapkan seseorang sebagai pelaku pembunuhan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pembunuhan merupakan tindak pidana yang memerlukan unsur dolo sebagai syarat utama.

2. Pasal 351 KUHP (Penganiayaan)

Pasal 351 KUHP membedakan antara penganiayaan yang disengaja dan yang tidak disengaja. Penganiayaan yang disengaja dihukum lebih berat daripada penganiayaan yang terjadi karena kelalaian.

3. Pasal 362 KUHP (Pencurian)

Pasal 362 KUHP menyatakan bahwa pencurian hanya terjadi jika pelaku dengan sengaja mengambil barang orang lain. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pencurian merupakan tindak pidana yang memerlukan unsur dolo.

4. Pasal 365 KUHP (Penipuan)

Pasal 365 KUHP mengatur tentang penipuan yang memerlukan unsur kesengajaan untuk menipu orang lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.


PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa mens rea atau niat jahat merupakan unsur batiniah yang sangat penting dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dalam KUHP Indonesia. Mens rea dalam KUHP didasarkan pada tiga asas utama, yaitu asas kepatutan dan keadilan, asas tanggung jawab pribadi, dan asas legalitas.

Jenis-jenis mens rea dalam KUHP terdiri dari dua bentuk utama, yaitu dolo (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). Dolo merupakan bentuk mens rea tertinggi yang memerlukan kesadaran penuh akan perbuatan dan akibatnya, sedangkan culpa merupakan bentuk mens rea yang terjadi karena kelalaian atau ketidakhadiran kesadaran.

Penerapan mens rea dalam pasal-pasal KUHP menunjukkan bahwa pemahaman yang tepat tentang konsep ini sangat penting bagi penegak hukum dalam menentukan kualifikasi suatu tindakan sebagai tindak pidana dan menentukan sanksi yang sesuai.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep mens rea bagi para penegak hukum, akademisi, dan mahasiswa hukum. Selain itu, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang penerapan mens rea dalam konteks reformasi hukum pidana yang sedang berlangsung di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Arief, S. (2013). Pokok-pokok Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hadji, M. (2006). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (1989). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta: Departemen Kehakiman RI.

Marzuki, P. M. (2016). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Moeljatno. (2007). Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Saleh, A. R. (2013). Pokok-pokok Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Williams, G. (1983). Textbook of Criminal Law. London: Stevens & Sons.

Smith, J. C. (2009). The Meaning of Mens Rea. Cambridge: Cambridge University Press.

Robinson, P. H. (2008). Criminal Law Defenses: A Systematic Analysis. New York: Foundation Press.

Ashworth, A. J. (2010). Principles of Criminal Law. Oxford: Oxford University Press.

Scroll to Top